• Posted by : Unknown Senin, 07 November 2016




    A.    Jalan Menuju Moksa
    Dalam agama Hindu, diajarkan lima prinsip keyakinan yang disebut Panca Sraddha yaitu meliputi keyakinan tentang adanya Brahman, Atman, Karma Pala, Punarbhawa, dan moksa. Moksa dari akar kata muc yang berarti membebaskan atau melepaskan. Adapun yang dimaksud dengan kebebasan dalam pengertian moksa ialah terlepasnya atman dari ikatan maya, sehingga menyatu dengan Brahman. Bagi orang yang telah mencapai moksa berarti mereka telah mencapai alam Sat cit ananda.
    Seseorang yang menyadari hal itu, akan berupaya menumbuh-kembangkan usaha untuk melepaskan diri yang sejati dari keterikatan. Usaha melepaskan diri secara sadar inilah yang dapat mengantarkan manusia menuju moksa.
    Umat Hindu percaya akan dapat membebaskan dirinya (Pikiran dan perasaannya) dari ikatan keduniawian, pengaruh suka dan duka yang muncul dari tri guna serta dapat kelepasan itu. Kitab suci Bhagavadgita menjelaskan sebagai berikut :
    “Yadā sattve pravṛddhe tu,
    pralayam yāti deha-bhrit,
    tadottama-vidām lokān,
    amalān pratipadyate”.
    Terjemahan:
    Apabila sattva berkuasa di kala penghuni-badan bertemu dengan kematian maka ia mencapai dunia suci tempat mereka, para yang mengetahui (Bhagavadgita XIV.14).
    Membebaskan diri dari pengaruh tri guna adalah usaha yang sangat berat, tetapi pasti dapat dilakukan dengan disiplin diri. Lakukan pemujaan dan kerja sebagaimana mestinya guna mewujudkan bhakti kita kepada Tuhan. Tanamkanlah keyakinan pada diri kita bahwa segala sesuatu berawal dan berakhir pada Tuhan.
    Setiap makhluk dapat mencapai moksa, hanya saja proses yang dilalui satu sama lain berbeda. Ada yang cepat dan ada pula yang lambat dan sebagainya. Renungkan dan laksanakanlah makna sloka berikut ini dengan baik.
    Sattvam sukhe sanjayati,
    rajaḥ karmani bhārata,
    jnānam āvṛtya tu tamaḥ,
    pramāde sanjayaty uta.
    Terjemahan:
    Sattwa mengikat seseorang dengan kebahagiaan, rajas dengan kegiatan tetapi tamas, menutupi budi pekerti oh Barata, mengikat dengan kebingungan, (Bhagavadgita XIV.9).
    Tujuan utama manusia adalah untuk mewujudkan hidup yang bahagia dengan menyadari dirinya yang sejati.
    Dalam kehidupan nyata di dunia ini masih sangatlah sedikit jumlah orang yang menginginkan mendapatkan kebahagiaan rohani “Moksa”, kebanyakan di antara mereka hanyut oleh kenikmatan duniawi yang penuh dengan gelombang suka dan duka. Untuk dapat mewujudkan rasa bakti kehadapan-Nya kehadiran tubuh manusia sangat diperlukan, oleh karenanya peliharalah tubuh ini sebaik-baiknya.
    “Bhaktyā tv ananyayā śakya
    aham evam-vidho ‘rjuna,
    jnātum drașțum cha tattvena
    praveșțum cha paramtapa”.
    Terjemahan:
    Tetapi, melalui jalan bakti yang tak tergoyahkan aku dapat dilihat dalam realitasnya dan juga memasukinya, wahai penakluk musuh (Arjuna) Paramtapa (Bhagawadgita, XI.54).
    1.   Tingkatan Moksa
    Perenungan.
    Duhkheșwanudwignamanāḥ
    sukheșu wigataspṛhaḥ,
    wītaҫokabha-yakrodhah
    sthiradhīrmunirucyate.
    Terjemahan:
    Orang yang disebut mendapatkan kebijaksanaan, tidak bersedih hati jika mengalami kesusahan, tidak bergirang hati, jika mendapat kesenangan, tidak kerasukan nafsu marah dan rasa takut serta kemurungan hati, melainkan selalu tetap tenang juga pikiran dan tutur katanya, karena berilmu, budi mulia pula disebut orang yang bijaksana (Sarasamuscaya, 505).
    Moksa dapat dicapai oleh semua manusia, baik semasih hidup maupun setelah meninggal dunia.
    1.   Jiwamukti
    Jiwamukti adalah tingkatan moksa atau kebahagiaan/kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atmanya tidak lagi terpengaruh oleh gejolak indria dan maya (Pengaruh duniawi).
    2.   Widehamukti
    Widehamukti adalah tingkat kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atmanya telah meninggalkan badan wadagnya (Jasadnya), tetapi roh yang bersangkutan masih terkena pengaruh maya yang tipis.
    3.   Purnamukti
    Purnamukti adalah tingkat kebebasan yang paling sempurna. Pada tingkatan ini posisi atma seseorang keberadaannya telah menyatu dengan Brahman.
    Berdasarkan keadaan tubuh atau lahiriah manusia, tingkatan-tingkatan atma itu dapat dijabarkan sebagai berikut: moksa, adi moksa, dan parama moksa.
    1.   Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya di dunia ini.
    2.   Sarupya (Sadharmya) adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang di dunia ini, karena kelahirannya, di mana kedudukan Atman merupakan pancaran dari kemahakuasaan Tuhan, seperti halnya Sri Rama, Buddha, dan Sri Kresna.
    3.   Salokya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh Atman, di mana Atman itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan.
    4.   Sayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi di mana Atman telah dapat bersatu dengan Tuhan Yang Esa.
    Dalam hubungan untuk mewujudkan suatu kebebasan dalam hidup ini sangat baik kita merenungkan dan mengamalkan sloka berikut :
    Sribhagavān uvācha;
    Akasaram Brahman paramam
    Svabhāvo ‘dhyātmam uchyate,
    Bhūta-bhāvodbhava-karo
    visargaḥ karma-samjnitaḥ.
    Terjemahan:
    Sri Bhagawan Bersabda: Brahman (Tuhan) adalah yang kekal, yang Maha tinggi dan adanya didalam tiap-tiap badan perseorangan disebut Adhyatman. Karma adalah nama yang diberikan kepada kekuatan cipta yang menjadikan makhluk hidup (Bhagawadgita VIII.3).
    Mengenai kebahagiaan atau kebebasan abadi yang harus diupayakan dalam hidup dan kehidupan ini, kitab suci Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut :
    Mātāpitṛsahasrāni putradāra
    ҫatani ca,
    yuge yuge wyatītāni kasya te
    kasya wā wayam.
    Terjemahan:
    Tidak diketahui hubungan penjelmaan manusia itu pada permulaannya, tidak dapat diperkirakan akan banyaknya penjelmaan yang lain, beribu-ribu bapa, ibu, anak dan istri pada tiap-tiap yuga; pada hakikatnya, siapakah yang sebenarnya dapat mengatakan dengan tepat keturunan mereka itu, dan yang mana dapat ditunjuk seketurunan dengan engkau sendiri? (Sarasamuscaya, 486).
    Nāyamatyantasamwāmsah kadācit
    kenacit saha,
    api swena marīrena
    kimutānyena kenacit.
    Terjemahan:
    Tidak ada yang kekal yang dinamakan pertemuan itu, yang bertemu satu dengan yang lain; yang tidak bertemu satu dengan yang lain, semuanya itu tidak kekal, bahkan hubunganmu dengan badanmu sendiripun tidak kekal, pasti akan berpisah dari badan; tangan, kaki, dan lain-lain bagian tubuh itu, jangan dikatakan dengan yang lain-lainnya (Sarasamuscaya, 487).
    Ādarҫanādāpatitāh punaҫcā
    darҫanam gatāh,
    n ate tawa na tesām twam kā
    tatra pari Devanā.
    Terjemahan:
    Katanya mereka datang dari Taya (Kenyataan yang tidak nyata), dan kemudian kembalinya lagi ke Taya, singkatnya, bukan kepunyaanku itu, itu tidak ada hubungannya dengan engkau, jika demikian halnya, apa yang akan dikatakan dan apa yang akan dikerjakan (Sarasamuscaya, 488).
    Naste dhane wā dāresu putre
    pitari mātari,
    aho kastamiti dhyātwā
    duhkhasyāpacitin caret.
    Terjemahan:
    Kekayaan akan habis, anak akan mati, istri, ayah, dan ibu, mereka itu semuanya telah meninggal, maka sangat menyedihkan dan memilukan hati, bila engkau sadar akan keadaan demikian, perbuatanmu itu merupakan obat pelipur duka (Sarasamuscaya, 489).
    Mānasam ҫamayet tasmāt
    prajnāya, gnimiwābhasa,
    praҫānte mānase hyasya
    ҫārīramupaҫāmyati.
    Terjemahan:
    Karena itu penderitaan pikiran hendaklah diusahakan untuk dimusnahkan dengan kebijaksanaan, sebab tentunya lenyap oleh kebijaksanaan, seperti misalnya api yang menyala, pasti padam oleh air, jika telah musnah penderitaan pikiran, maka lenyaplah pula sakitnya badan (Sarasamuscaya, 503).
    Wījāyagnyupadagdhāni na
    rohanti yathā punah,
    jnānadagdhaistathā kleҫairnātmā
    sampadyate punah.
    Terjemahan:
    Adapun maknanya yang terpenting kecemaran badan akan lenyap, jika dilebur dengan latihan-latihan ilmu pengetahuan, jika hilang musnah kotoran badan itu, karena telah diperoleh pengetahuan yang sejati, maka terhapuslah kelahiran, tidak menjelma lagi sebagai misalnya biji benihan yang dipanaskan, dipanggang, hilang daya tumbuhnya, tidak tumbuh lagi (Sarasamuscaya, 510).
    Demikianlah dapat diuraikan mengenai tingkatan dan keberadaan orang yang dapat mencapai moksa, dan perlu diikuti dengan kesungguhan hati.
    2.   Jalan Menuju Moksa
    Perenungan.
    Mat-karma kṛn mat-paramo,
    Mad-bhaktaá saὸga-varjitaá,
    Nirvairaá sarva-bhὺteûu
    Yaá sa màm eti pàóðava.
    Terjemahan:
    Ia yang melakukan pekerjaan-Ku, ia yang memutuskan Aku sebagai tujuannya, ia yang menyembah Aku bebas dari ikatan, ia yang bebas dari permusuhan pada semua makhluk, ia datang padaku, O Arjuna (Bhagawadgita XI.55).
    Tujuan terakhir dan tertinggi yang ingin dicapai oleh umat Hindu adalah moksa. Berbagai macam cara/jalan dapat dilakukan oleh umat bersangkutan, guna mewujudkan tujuan utamanya ini, termasuk sembahyang. Guna mencapai penyatuan Atman dengan Brahman, renungkan, pedomani, dan amalkanlah dalam kehidupan sehari-hari sloka berikut ini ;
    Bahūnām janmanām ante
    jnānavān mām prapadyate,
    vāsudevaá sarvam iti
    sa mahātmā su-durlabhaḥ.
    Terjemahan:
    Orang yang bijaksana akan datang kepada-Ku, pada akhir dari banyak kelahiran karena mengetahui bahwa Vasudeva (Tuhan) adalah segalanya ini; sukar mendapatkan orang seperti itu (Bahagavadgita VII.19).
    Mendapatkan seseorang berjiwa besar seperti itu adalah sukar mencarinya. Banyak makhluk akan keluar/lahir dan mati, serta hidup kembali tanpa kemampuannya sendiri.
    Di dalam ajaran Agama Hindu terdapat berbagai macam jalan yang dapat dilalui untuk mencapai kesempurnaan “Moksa”, dengan menghubungkan diri dan memusatkan pikiran kepada Ida Hyang Widhi Wasa.
    1.      Bhakti Marga Yoga
    Bhakti Marga/Yoga adalah proses atau cara mempersatukan atman dengan Brahman, berlandaskan rasa dan cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
    2.      Karma Marga/Yoga
    Karma Marga/Yoga adalah jalan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan atau moksa dengan perbuatan, bekerja tanpa terikat oleh hasil atau kebajikan tanpa pamrih. Dalam Bhagavadgita tentang karma yoga dinyatakan sebagai berikut :
    Tasmād asaktaḥsatatam
    kāryam karma samācara,
    asakto hy ācaran karma
    param āpnoti purusaḥ.
    Terjemahan:
    Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat pada hasilnya, sebab dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama (Bhagawadgita III.19).
    Pada suatu hari Devi Laksmi mengadakan sayembara, di mana beliau akan memilih suami. Semua Deva dan para Danawa datang berduyun-duyun dengan harapan yang membumbung tinggi.
    Dari cerita di atas dapat dikemukakan bahwa orang yang selalu asyik dalam pikirannya menginginkan buah dari kerjanya, akan kehilangan buah itu yang sebenarnya adalah miliknya, tetapi bagi karma yogin walaupun ia berbuat sedikit, tetapi tanpa pamrih, ia akan mendapatkan hasil yang tidak ternilai.
    3.      Jnana Marga Yoga
    Jnana Marga/Yoga adalah cara yang ke tiga setelah Karma Marga/Yoga untuk menyatukan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.
    Proses tumbuh dan berkembangnya pikiran kea rah kebaikan merupakan hal yang mutlak patut dilakukan.
    4.      Raja Marga Yoga
    Raja Marga/Yoga adalah suatu jalan mistik (Rohani) untuk mencapai kelepasan atau moksa.
    Ada tiga jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh para Raja/Yogin yaitu melakukan tapa-brata, yoga, dan Samadhi.

    B.    Bentuk Penerapan Ajaran Astangga Yoga Dalam Mewujudkan Tujuan Hidup Manusia dan Tujuan Agama Hindu.
    Perenungan.
    “Praśānta-manasam hy enam yoginam
    sukham uttamam,
    upaiti śanta-rajasam
    brahma-bhūtam akalmașam”


    Terjemahan:
    Karena kebahagiaan tertinggi datang pada yogin yang pikirannya tenang, yang nafsunya tidak bergolak, yang keadaannya bersih bersatu dengan Tuhan (Bhagavadgita VI.27).
    Manusia yang lahir dan hidup di dunia ini memiliki tujuan, yang disebut dengan istilah tujuan hidup manusia.
    “Ūrddhvabāhurviraumyeșa na ca
    kaccișchrnoti me,
    dharmādarthașca kāmașca sa
    kimartham na sevyate”.
    Terjemahan:
    Itulah sebabnya hamba, melambai-lambai; berseru-seru member ingat; kata hamba: “Dalam mencari artha dan kama itu hendaklah selalu dilandasi oleh dharma; jangan sekali-sekali bertindak bertentangan dengan dharma” demikian kata hamba; namun demikian, tidak ada yang memperhatikannya; oleh karena katanya, adalah sukar berbuat atau bertindak bersandarkan dharma, apa gerangan sebabnya? (Sarasamuҫcaya, 11).
    “Yatnah kāmārthamokșaņam
    krtopi hi vipadyate,
    dharmmāya punararambhah
    sankalpopi na nișphalah”.
    Terjemahan:
    Usaha tekun pada kerja mencari kama, artha dan moksa, dapat terjadi ada kalanya tidak berhasil; akan tetapi usaha tekun pada pelaksanaan dharma, tak tersangsikan lagi, pasti berhasil sekalipun baru hanya dalam angan-angan, (Sarasamuҫcaya, 15).
    1.   Yama
    Yama yaitu suatu bentuk larangan atau pengendalian diri yang harus dilakukan oleh seorang dari segi jasmani, misalnya, dilarang membunuh (Ahimsa), dilarang berbohong (Satya), pantang mengingini sesuatu yang bukan miliknya (Asteya), pantang melakukan hubungan seksual (Brahmacari), dan tidak menerima pemberian dari orang lain (Aparigraha).
    “Yaccintayati yadyāti ratin
    badhnāti yatra ca,
    tathā cāpnotyayatnena prānino
    na hinasti yah.
    Terjemahan:
    Pahalanya, orang yang tidak membunuh (Menyakiti) selagi ada di dunia ini, maka segala sesuatu yang dicita-citakannya, segala yang ditujunya, segala sesuatu yang dikehendaki atau diingini olehnya, dengan mudah tercapai olehnya tanpa sesuatu penderitaan, (Sarasamuҫcaya, 142).
    “Ānrcamsyam kșmā satyamahinsā
    dama ārjavam,
    pritih prasādo mādhuryam mārdavam
    ca yamā daҫa”.
    Terjemahan:
    Inilah brata yang disebut yama, perinciannya demikian; ànresangsya, ksamà, satya, ahingsà, dama, àrjawa, priti, pràsada, màdhurya, màrdawa, sepuluh banyaknya; ànresangsya yaitu harimbawa, tidak mementingkan diri sendiri saja; ksamà, tahan akan panas dan dingin; satya, yaitu tidak berkata bohong (Berdusta); ahingsà, berbuat selamat atau bahagianya sekalian makhluk; dama, sabar serta dapat menasehati dirinya sendiri; àrjawa, adalah tulus hati berterus terang; priti, yaitu sangat welas asih; prasàda, adalah kejernihan hati; màdhurya, yaitu manisnya pandangan (Muka manis) dan manisnya perkataan (Perkataan yang lemah lembut); màrdawa, adalah kelembutan hati, (Sarasamuҫcaya, 259).
    2.   Nyama
    Nyama yaitu bentuik pengendalian diri yang lebih bersifat rohani, misalnya Sauca (Tetap suci lahir batin), Santosa (Selalu puas dengan apa yang datang), Swadhyaya (Mempelajari kitab-kitab keagamaan), dan Iswara pranidhana (Selalu bakti kepada Tuhan).
    “Dānamijyā tapo dhyānam
    swādhyāyopasthaningrahah,
    vratopavasamaunam ca ananam
    ca niyama dașa”.
    Terjemahan:
    Inilah brata sepuluh banyaknya yang disebut niyama, perinciannya; dàna, ijya, tapà, dhyana, swàdhyàya, upasthanigraha, brata upawàsa, mauna, snàna, itulah yang merupakan niyama,, dàna, pemberian makanan-minuman dan lain-lain; ijya, pujaan kepada Deva, kepada leluhur dan lain-lain sejenis itu; tapà, pengekangan nafsu jasmaniah, badan yang seluruhnya kurus kering, layu, berbaring di atas tanah, di atas air dan di atas alas-alas lain sejenis itu, dhyana, tepekur merenungkan Ҫiwa; swàdhyàya, yakin mempelajari Veda; upasthanigraha, pengekangan upastha, singkatnya pengendalian nafsu seksual; brata/upawàsa, pengekangan nafsu terhadap makanan dan minuman; mauna/mona, itu wacanyama berarti menahan, tidak mengucapkan kata-kata yaitu tidak berkata-kata sama sekali tidak bersuara; snàna, trisandhyasewana, mengikuti trisandhya, mandi membersihkan diri pada waktu pagi, tengah hari, dan petang hari, (Sarasamuҫcaya, 260).
    3.   Asana
    Asana yaitu sikap duduk yang menyenangkan, teratur dan disiplin (Silasana, padmasana, bajrasana, dan sukhasana).
    4.   Pranayama
    Pranayama, yaitu mengatur pernafasan sehingga menjadi sempurna melalui tiga jalan yaitu puraka (Menarik nafas), kumbhaka (Menahan nafas), dan recaka (Mengeluarkan nafas).
    5.   Pratyahara
    Pratyahara, yaitu mengontrol dan mengendalikan indria dari ikatan objeknya, sehingga orang dapat melihat hal-hal suci.
    6.   Dharana
    Dharana, yaitu usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan.
    7.   Dhyana
    Dhyana, yaitu pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan kepada suatu objek. Dhyana dapat dilakukan terhadap Ista Devata.
    8.   Samadhi
    Samadhi, yaitu penyatuan atman (Sang diri sejati dengan Brahman). Bila seseorang melakukan latihan yoga dengan teratur dan sungguh-sungguh ia akan dapat menerima getaran-getaran suci dan wahyu Tuhan.
    Moksa adalah terlepasnya Atman dari belenggu maya (Bebas dari pengaruh karma dan punarbhawa) dan akhirnya bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hubungan dengan penyatuan dengan Tuhan, renungkanlah dan amalkanlah sloka berikut :
    “Bhaktyā tvananyanyā śakya,
    aham evam-vidho: ‘rjuna,
    jnatum drașțum cha tattvena
    praveșțum cha paramtapa”.
    Terjemahan:
    Akan tetapi dengan perbakti tunggal padaku, O Arjuna, Aku dapat dikenal, sungguh dapat dilihat dan dimasuki ke dalam, O penakluk musuh (Bhagawadgita XI.54).
    Demikianlah ajaran kitab Astangga Yoga yang ditulis oleh Maharsi Patanjali, mengajarkan umat manusia agar mengupayakan dirinya masing-masing untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini.

    C.    Tantangan dan Hambatan Dalam Mencapai Moksa Sesuai Dengan Zamannya “Gobalisasi”.
    Perenungan.
    “Asakta-buddhiḥ sarvatra
    jitātmā vigata-spṛhaḥ,
    naișkarmya-siddhim paramām
    sannyāsenādhigacchati”.
    Terjemahan:
    Orang yang kecerdasannya tidak terikat dimana saja, telah menguasai dirinya dan melepaskan keinginannya, dengan penyangkalan ia mencapai tingkat tertinggi dari kebebasan akan kegiatan kerja, (Bhagavagitā, XVIII.49).
    1.      Menjauhkan diri dari keterikatan materialistis
    Mengumpulkan harta-benda (Material) untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berkecukupan dalam kehidupan ini merupakan hal yang baik, namun apabila kekayaan yang kita kumpulkan membuat orang lain menjadi menderita adalah tindakan yang kurang terpuji.
    2.      Mengutamakan aktivitas yang bernuansakan spiritual
    Menjadi orang yang kreatif, rajin, tekun, dan cekatan yang bernafaskan keagamaan dan kemanusiaan dapat mengantarkan yang bersangkutan mampu mewujudkan kebahagiaan hidupnya.
    3.      Jauhkan dan hindarkanlah diri dari tindakan tidak terpuji
    Tindakan manusia terpuji adalah menjauhkan diri dari kebodohan (Punggung), iri hati (Irsya), dan marah (Krodha) serta sifat-sifat negative yang lainnya seperti ‘Mabuk, berjudi, bermain wanita, dan bertindak anarkis’ karena dapat mengantarkan seseorang menjadi insane yang nista.
    Semestinya kita patut bersyukur dilahirkan hidup menjadi manusia, karena hanya yang menjadi manusia saja yang dapat berbuat baik atau melebur perbuatan yang buruk menjadi baik. Kitab suci Veda menjelaskan sebagai berikut :
    Mānusah sarvabhūteșu varttate vai
    șubhāśubhe,
    aśubheșu samavișțam
    śubhesvevāvakārayet.
    Terjemahan:
    Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk; leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya (Phalanya) menjadi manusia, (Sarasamuҫcaya, 2).
    Iyam hi yonih prathamā
    yonih prāpya jagatipate,
    ātmānam șakyate trātum karmabhih
    śubhalakșaņaih.
    Terjemahan:
    Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (Lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia, (Sarasamuҫcaya, 4).
    Secara kodrati kelahiran manusia dilengkapi dengan: sifat tri guna yakni tiga sifat utama (Sattwam; ketenangan, rajas; dinamis, dan tamas; lamban).
    “Yo durlabhataram prāpya
    mānusyam lobhato narah,
    dharmāvamantā kāmātma bhavet
    sakalavancitah”.
    Terjemahan:
    Bila ada orang berkesempatan menjadi orang (Manusia), ingkar akan pelaksanaan dharma; sebaliknya amat suka ia mengejar harta dan kepuasan nafsu dan berhati tamak; orang itu disebut kesasar, tersesat dari jalan yang benar (Sarasamuҫcaya, 9).
    Disebutkan ada 7 (Tujuh) macam sifat manusia secara kodrati dapat mengantarkan hidup manusia menjadi awidya, gelap, suram, timira yang dikenal dengan istilah “Sapta timira”. Ketujuh unsur/sifat alami itulah yang mengantarkan manusia menjadi awidya atau gelap sebagai akibat dari kebodohannya.
    Ajnānaprabhavam hidam
    yadduhkhamupalabhyate,
    lobhādeva tad ajnānam
    ajnāna lobha eva ca.
    Terjemahan:
    Sebab suka duka yang dialami, pangkalnya adalah kebodohan; kebodohan ditimbulkan oleh lobha, sedang lobha (Keinginan hati) itu kebodohan asalnya; oleh karenanya kebodohanlah asal mula kesengsaraan itu (Sarasamuҫcaya, 400).
    Tujuh macam sifat awidya atau kegelapan yang ada pada manusia apabila tidak dapat dikendalikan dengan baik akan menimbulkan berbagai-macam tindakan kejam.
    Menjadi pekerja aktif dengan jabatan sebagai atasan kurang memungkinkan untuk melakukan kegiatan spiritual karena disibukkan oleh berbagai macam aktivitas kantor.
    Terkadang banyak orang yang kurang sabar dalam mengumpulkan harta dari pekerjaan yang ditekuninya, seperti dengan mengambil jalan pintas melakukan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).
    Sikap dan perilaku yang diwujudkan oleh seseorang seperti tersebut di atas (Mendirikan yayasan fakir miskin) berarti yang bersangkutan telah mampu membangun spiritualnya dan sekaligus dapat mengendalikan sifat-sifat awidya yang dimilikinya.
    Untuk mencapai moksa seseorang dapat memilih salah satu di antara Catur Marga Yoga. Apakah melalui Jnana Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Bakti Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga, diharapkan dapat disesuaikan dengan kemampuan serta bidang yang digeluti saat ini.
    “Kamarthau lipsamānastu
    dharmmamevāditașcaret,
    na hi dharmmādapetyarthah
    kāmo vapi kadācana”.
    Terjemahan:
    Pada hakikatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dahulu; tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti; tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma (Sarasamuҫcaya, 12).

    D.   Upaya-Upaya dalam Mengatasi Hambatan dan Tantangan Untuk Mencapai Moksa Menurut Zamanya “Globalisasi”.
    Perenungan.
    yataḥ pravṛttir bhūtānam
    yena sarvam idam tatam,
    sva-karmaņā tam abhyarcya
    siddhim vindati mānavaḥ.
    Terjemahan:
    Dia dari siapa datangnya semua insani oleh siapa semuanya ini diliputi; dengan memuja-Nya dengan kewajibannya sendiri, manusia mencapai kesempurnaan (Bhagavagità, XVIII.46).
    Dengan mempedomani diri dan mengamalkan ajaran cinta kasih serta ketidak terikatan akan ilusi dunia ini secara berkesinambungan seseorang dapat mencapai moksa.
    “Om āyur vrddhir yaśo vṛddhir, vṛddhir prajna sukha śriyam, dharma Santāna vṛddhih syāt, santu te sapta-vṛddhayah.”
    “Om yāvan merau sthito devah, yāvad ganggā mahitale. Candrārkau gagane yāvat, tāvad vā vijayi bhavet.”
    “Om dirghāyur astu tathāstu, “Om avighnam astu tathāstu, “Om śubham astu tathāstu, “Om sukham bhavatu, “Om pūrņam bhavatu, “Om śreyo bhavatu, sapta vṛddhir astu tad astu astu svāhā.”
    Terjemahan:
    Ya Tuhan, semoga bertambah dalam usia, bertambah dalam kemasyuran, bertambah dalam kepandaian, kegembiraan, dan kebahagiaan, bertambah dalam dharma dan keturunan, tujuh bertambahan semoga menjadi bagianmu Ya Tuhan,
    Selama Tuhan bersemayam di Gunung Mahameru, selama Sungai Gangga berada di dataran bumi, selama Matahari dan Bulan berada di langit, selama itu semoga seseorang mendapat kejayaan.
    Ya Tuhan semoga panjang umur, semoga demikian, Ya Tuhan, semoga tiada rintangan, semoga demikian, Ya Tuhan, semoga baik, semoga demikian. Ya Tuhan, semoga bahagia, Ya Tuhan, semoga sempurna, Ya Tuhan, semoga rahayu, Semoga tujuh bertambahan terwujud (Sὺrya sevana C.Hooykaas, 2002.146).
    Tingkatan-tingkatan moksa yang dicapai oleh seseorang dapat dikategorikan sebagai berikut;
    1.      Moksa; apabila seorang sudah mampu mencapai kebebasan rohani dengan meninggalkan badan kasar (Jasad).
    2.      Adi Moksa; apabila seorang sudah mencapai kebebasan rohani dengan tidak meninggalkan jasad tetapi meninggalkan bekas-bekas misalnya abu, dan atau tulang.
    3.      Parama Moksa; apabila orang yang bersangkutan telah mencapai kebebasan rohani dengan tidak meninggalkan badan kasar (Jasad) serta tidak membekas.
    Buddhilābhāddhi purușah
    sarvam tarati kilbisam,
    vipāpo labhate sattvam
    sattvasthah samprasidati.
    Terjemahan:
    Karena orang yang telah mendapat kearifan budi, lenyap segala noda pikirannya; tanpa noda (Suci bersih) budi pikirannya, maka sifat “Sattwa” diperolehnya; sifat sattwa saja tidak dicampuri (Dilekati) sifat “Rajah-tamah”; sattwa artinya sifat baik, yaitu budi pikiran utama, pikiran berpembawaan baik, tidak dihinggapi trsna (Kehausan hati) dan sejenisnya; jika telah didapat olehnya sifat sattwa, maka ia berjiwa suci bersih, tidak terikat pada badan kasar, bebas dari karmaphala (Buah perbuatan), (Sarasamuҫcaya, 507).
    śraddhāvān anasūyaś ca
    śṛņuyād api yo naraḥ,
    so ‘pi muktaḥ śubhāmlokān
    prāpnuyāt puņya-karmaņām.
    Terjemahan:
    Orang yang mempunyai keyakinan dan tidak mencela orang seperti itu walaupun sekedar hanya mendengar, ia juga terbebas, mencapai dunia kebahagiaan manusia yang berbuat kebajikan (Bhagawadgita XVIII.71).
    1.      Melaksanakan Meditasi
    Memuja kebesaran dan kesucian Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa beserta prabhawanya adalah merupakan kewajiban bagi setiap umat beragama “Hindu”.
    2.      Mendalami Ilmu Pengetahuan
    Mendalami berbagai cabang ilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangannya adalah merupakan kewajiban setiap insane yang dilahirkan sebagai manusia.
    3.      Melaksanakan/Mewujudkan Dharma
    Dalam ajaran Catur Parusàrtha dijelaskan bahwa tujuan umat sedharma beragama Hindu adalah terpenuhinya kama, artha, dan moksa berdasarkan dharma.
    4.      Mendekatkan Diri Kepada Sang Hyang Widhi Wasa
    Proses mendekatkan di ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa, umat sedharma dapat melakukan dengan cara; Darana (Menetapkan cipta), Dhyana (Memusatkan cipta), dan Semadi (Mengheningkan cipta).
    5.      Menumbuhkembangkan Kesucian (Jiwaq dan Raga)
    Untuk memperoleh pengetahuan suci dari Sang Hyang Widhi Wasa, umat sedharma hendaknya selalu berdoa memohon tuntunan-Nya.
    6.      Mempedomani dan Melaksanakan Catur Marga
    Moksa (Hidup bahagia) dapat diwujudkan atau ditempuh dengan beberapa cara sesuai dengan bakat dan bidang yang ditekuni oleh umat sedharma.

    E.     Contoh-contoh Orang Yang Dipandang Mampu Mencapai Moksa
    Perenungan.
    Aham ātmā guḍākeśa
    sarva-bhūtāśya-sthitaḥ,
    aham ādiś cha madhyam ca
    bhūtānām anta eva cha.
    Terjemahan:
    Aku adalah Sang Diri yang ada dalam hati semua makhluk, wahai Gudakesa, Aku adalah permulaan, pertengahan dan akhir dari semua makhluk (Bhagawadgita X.20).
    Tujuan hidup umat Hindu ialah dapat mewujudkan catur purusartha, kebahagiaan lahir dan batin (Moksartham jagadhita). Kebahagiaan batin yang tertinggi ialah bersatunya atman dengan Brahman yang disebut moksa. Moksa atau mukti atau nirwana berarti kebebasan, kemerdekaan atau terlepas dari ikatan karma, kelahiran, kematian, dan belenggu maya/penderitaan hidup keduniawian.
    Toko Rama, yang digambarkan sebagai seorang yang bijaksana dan tidak lagi terikat dengan hal-hal duniawi. Ketikia Rama di jemput adiknya dan hendak dijadikan seorang raja namun Rama menolaknya. Tokoh anoman yang digambarkan selalu taat dan setia menjalankan kewajibannya (Dharma) sebagai duta Rama ketika diutus mencari kabar tentang Devi sitha yang diculik Rahwana.

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © AnakSekolahan.com - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -